Memanjangkan Umur dan Memperluas Rizqi

Abu Hurairah ra berkata, aku pernah mendengar Rasulullah saw bersabda (artinya): "Barangsiapa yang suka rizqinya akan diluaskan dan diakhirkan ajalnya maka hendaklah menyambung tali persaudaraan." [Diriwayatkan oleh Al-Bukhariy dan Muslim]

Imam Tirmidzi meriwayatkan hadits yang serupa dengan lafadz (artinya): "Sesungguhnya manfaat menyambung tali persaudaraan itu adalah menumbuhkan rasa cinta kasih di kalangan keluarga, menambah banyak harta, dan mengakhirkan datangnya ajal."

Rasulullah menjanjikan dua hal dengan silaturrahmi:
1. Rizqi yang luas
2. Ajal yang ditangguhkan.


Keterkaitannya dengan keluasan rizqi

Ini didasarkan pada alasan bahwa ketika seseorang itu bersilaturrahmi ia akan banyak mencintai saudaranya, yang akan berlanjut dengan tumbuhnya komitmen untuk saling menolong - atau bahkan lebih dari itu. Dan dengan silaturrahmi pula akan menjauhkan dari permusuhan, sebab permusuhan hanya akan menghabiskan waktu saja dan melupakan untuk mencari rizqi.

Lebih luas lagi, karena silaturahmi adalah perintah dari Rasul maka mentha'atinya berarti telah menjalankan ketha'atan kepada Allah. Sedangkan Allah telah menjanjikan:

"...Barang siapa yang bertaqwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan ke luar." [Ath-Thalaaq: 2], lanjutannya:

[65.3] Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barang siapa yang bertawakal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan) nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan (yang dikehendaki) Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu.

Keterkaitannya dengan memanjangkan umur

Mengenai janji Allah akan menangguhkan atsar lantaran silaturahmi, sebenarnya atsar itu jika kita tafsirkan sebagai kenangan baik setelah kematian, maka penangguhannya berarti diakhirkan dan dipanjangkan. Mulut orang-orang tidak kan berhenti memuji dan mendo'akan kebaikan kepadanya, karena ia telah menyabmung tali kekerabatan. Bisa jadi kenangan ini terus berlanjut hingga sekian lama seakan-akan jiwanya yang pengasih itu kekal di alam kehidupan.

Tapi jika ajal itu kita tafsirkan sebagai sisa usia, maka dzahir dari hadits itu bermakna bahwa ajal akan dengan sendirinya memanjang dengan silaturahmi, dan pendapat demikian bertenangan dengan firman Allah dalam surah Al-Munaafiqqun (63) ayat 11, yang artinya:

"Dan Allah sekali-kali tidak akan menangguhkan (kematian) seseorang apabila datang waktu kematiannya."

Tentunya ini dapat disangkal dengan pernyataan bahwa ajal itu pada dasarnya sudah dapat ditentukan karena tidak tersentuh oleh sebab-sebab tertentu. Jika kita mengira bahwa usia seseorang itu dibatasi hingga enam puluh tahun saja, kalau ia bersilaturrahmi dan hanya empat puluh tahun saja bila memutuskan tali silaturahmi, maka bila ia menyambungkan tali silaturrahmi itu menginjak usia ke empat puluh tahun Allah akan menambahkan umur hingaa ia mencapai usia hingga yang ditentukan yakni enam puluh tahun. Ajal memang tidak dapat dipengaruh oleh sebab-sebab apa pun.

Tapi penafsiran yang paling baik (menurut hemat penulis) adalah pemanjangan ajal ini dengan barakah selama perjalanan usianya, dimana Allah mengaruniakannya kekuatan di dalam tubuhnya kecemerlangan berfikir dan determinasi yang kuat. Dengan demikian hidupnya penuh dengan amal perbuatan yang baik. Itulah kehidupan yang panjang meski dalam perhitungan usia hanya sebentar. Kerena memang ukuran sebenarnya untuk kehidupan yang diberkati itu bukan bulan atau tahun, tapi keagungan amal perbuatan dan banyaknya pengaruh yang ditanamkan. Berapa banyak orang yang berusia panjang, namun seakan-akan dia tidak bisa merasakan kehidupannya yang panjang tersebut. Sebaliknya, banyak juga orang yang usianya tidak terlalu panjang tapi seakan-akan ia telah hidup di tengah-tengah kita berabad-abad karena banyaknya yang telah ia perbuat dan besarnya nilai yang ia tinggalkan.

Sesungguhnya barakah dalam usia merupakan janji Allah atas orang yang menyambung tali persaudaraan. Karena seseorang jika telah menyambung tali silaturrahmi dengan saudaranya berarti telah mengagungkan dan menghormati mereka, yang itu semua menuntutnya untuk selalu memenuhi jiwanya dengan rasa senang dan merasa berdiri di atas kedudukan yang tinggi lantaran amal perbuatan yang ia kerjakan. Rasa senang itu berfungsi untuk menjadikan lebih giat, sebagaimana rasa sedih yang berakibat memasygulkan hati. Sedangkan rasa percaya diri yang besar lantaran mengerjakan amal-amal yang baik merupakan pemicu diri untuk lebih banyak lagi berbuat dan mengerahkan segenap kemampuan untuk mencapai tujuan hidup.

Allahu a'lam.
[Abu Fauzan]

1 comments

  1. naDhiN  

    Hmmmm....

    postingan kk...benar saya sukai...:)

    terus posting ya kak...:)

    ini link blog aq:)

    http://nadhin.blogspot.com

Post a Comment

Assalaamu'alaikum. Terimakasih atas komentar yang anda sampaikan. Semoga bermanfaat.

Subscribe to: Post Comments (Atom)