Diantara akhlaq sesama muslim adalah:

1. Memberi bantuan harta dan memenuhi kebutuhan-kebutuhannya
Rasululllah saw bersabda yang artinya, "Barangsiapa yang berada dalam kebutuhan saudaranya maka Allah berada dalam kebutuhannya, dan barangsiapa menghilangkan satu kesusahan orang Muslim dari berbagai kesusahan dunia maka Allah menghilangkan satu kesusahan dari berbagai kesusahan di hari qiyamat.

2. Menyebarkan salam
Rasulullah saw bersabda, "Kalian tidak masuk surga sehingga beriman, dan kalina tidak akan beriman sehinga kalian saling mencintai. Mauka kuberitahu sesuatu kepada kalian, jika mengerjakannya kalian saling mencintai? Sebarkanlah salam diantara kalian."
(diriwayatkan oleh Muslim)

Salah satu jawaban salam yang baik adalah sebagaimana hadits berikut, dari
Aisyah radhiyallaHu 'anHa, dia berkata,

Rasulullah berkata kepadaku, "Ini jibril datang membacakan salam kepadamu", Aku berkata, "Wa'alaikumus salaamu warahmatullaHi wabarakatuh"
(Diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, hadits no. 856 pada Tarjamah Riyadush Shalihin)

3. Menjenguknya jika sakit
Rasulullah saw bersabda, "Jenguklah orang yang sakit, berikanlah makanan kepada orang yang kelaparan serta bebaskanlah kesukaran orang yang mengalami kesukaran.
(diriwayatkan oleh Bukhari)

4. Mendo'akannya jika bersin
Rasulullah saw bersabda, "JIka salah seorang diantara kalian bersin hendaknya mengucapkan 'Alhamdulillah', dan hendaknya shahabatnya menjawab yarhamukallah, dan hendaknya dia (yang bersin) mengucapkan 'yahdikumullahu wa yushlihu baalakum'.

Dalam hadits yg lain Nabi saw bersabda (artinya):
"Jika salah seorang dari kalian bersin lalu mengucapkan alhamdulillah, maka hendaklah kalian mengucapkan tasymit (ucapan yarhamukallaH) baginya, namun jika tidak, maka janganlah mengucapkan tasymit baginya"
(HR. Muslim no. 2992)

5. Mengunjunginya karena Allah
Rasulullah saw bersabda, "Barangsiapa yang menjenguk orang sakit atau mengunjungi saudara-saudaranya karena ALlah maka ada penyeru yang menyerunya, "Semoga engkau bagus dan bagus pula perjalananmu, serta engkau mendiami satu tempat tinggal di surga."
(diriwayatkan oleh Ibnu Maajah dan Tirmidzi)

6. Memenuhi undangan jika dia mengundang
Rasulullah saw bersabda, "Hak seorang muslim atas muslim lainnya ada lima, menjawab salam, menjenguk orang sakit, mengantar jenazah, memenuhi undangan dan menjawab orang bersin
(HR. al Bukhari dan Muslim, hadits no. 900 pada Tarjamah Riyadush Shalihin)

7. Tidak menyebut-nyebut aibnya dan menggunjingnya secara terang-terangan maupun sembunyi-sembunyi
Rasul saw bersabda, "Setiap muslim atas muslim yang lainnya haram darahnya, hartanya, dan kehormatannya."

8. Berbaik sangka kepadanya
Rasulullah saw bersabda, "Jauhilah persangkaan, karena persangkaan itu perkataan yang paling dusta."
(Muttafaq'alaih)

9. Tidak boleh memata-matai dan mengawasinya baik dengan mata maupun telinga
Rasulullah saw bersabda, "Janganlah kalian saling mengawasi, janganlah saling mencari-cari keterangan, janganlahg saling memutuskan hubungan, janganlah saling membelakangi dan jadilah hamba-hamba Allah yang bersaudara."
(Muttafaq'alaih)

10. Tidak membocorkan rahasianya
Rasulullah saw bersabda, "Barangsiapa menutupi aib saudaranya, maka ALlah akan menutupi aibnya di dunia dan di akhirat."
(diriwayatkan Ibnu Maajah)

11. Menampakkan kasih sayang dengan memberikan hadiah kepadanya
Rasulullah sawb bersabda, "Saling berilah hadiah, niscaya kalian saling mencintai."
(diriwayatkan Baihaqi)

"Jika salah seorang diantara kalian mencintai saudaranya, maka hendaklah dia memberitahukannya."
(diriwayatkan Abu Dawud dan At-Tirmidzi)

Umar bin Khaththab ra berkata, "tiga hal yang saling memupuk saudaramu, engkau mengucapkan salam jika bertemu, memberinya tempat duduk dan memanggilnya dengan nama yang paling dicintainya."

12. Tidak menghibahnya dan membelanya jika ada orang yang menghibahnya
Rasulullah saw bersabda, "Setiap Muslim atas Muslim yang lain haram..."

13. Memaafkan kesalahan-kesalahannya
Rasul saw bersabda, "Tidaklah Allah memberi tambahan kepada seorang hamba yang suka memberi maaf melainkan kemuliaan."
(diriwayatkan oleh Muslim)

14. Mendo'akannya dari tempat yang jauh
Rasul saw bersabda, "Do'a seseorang dari tempat yang jauh adalah terkabulkan."
(Diriwayatkan oleh Muslim)


[Abu Fauzan]

(Lanjut...)


Memanjangkan Umur dan Memperluas Rizqi

Abu Hurairah ra berkata, aku pernah mendengar Rasulullah saw bersabda (artinya): "Barangsiapa yang suka rizqinya akan diluaskan dan diakhirkan ajalnya maka hendaklah menyambung tali persaudaraan." [Diriwayatkan oleh Al-Bukhariy dan Muslim]

Imam Tirmidzi meriwayatkan hadits yang serupa dengan lafadz (artinya): "Sesungguhnya manfaat menyambung tali persaudaraan itu adalah menumbuhkan rasa cinta kasih di kalangan keluarga, menambah banyak harta, dan mengakhirkan datangnya ajal."

Rasulullah menjanjikan dua hal dengan silaturrahmi:
1. Rizqi yang luas
2. Ajal yang ditangguhkan.


Keterkaitannya dengan keluasan rizqi

Ini didasarkan pada alasan bahwa ketika seseorang itu bersilaturrahmi ia akan banyak mencintai saudaranya, yang akan berlanjut dengan tumbuhnya komitmen untuk saling menolong - atau bahkan lebih dari itu. Dan dengan silaturrahmi pula akan menjauhkan dari permusuhan, sebab permusuhan hanya akan menghabiskan waktu saja dan melupakan untuk mencari rizqi.

Lebih luas lagi, karena silaturahmi adalah perintah dari Rasul maka mentha'atinya berarti telah menjalankan ketha'atan kepada Allah. Sedangkan Allah telah menjanjikan:

"...Barang siapa yang bertaqwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan ke luar." [Ath-Thalaaq: 2], lanjutannya:

[65.3] Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barang siapa yang bertawakal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan) nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan (yang dikehendaki) Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu.

Keterkaitannya dengan memanjangkan umur

Mengenai janji Allah akan menangguhkan atsar lantaran silaturahmi, sebenarnya atsar itu jika kita tafsirkan sebagai kenangan baik setelah kematian, maka penangguhannya berarti diakhirkan dan dipanjangkan. Mulut orang-orang tidak kan berhenti memuji dan mendo'akan kebaikan kepadanya, karena ia telah menyabmung tali kekerabatan. Bisa jadi kenangan ini terus berlanjut hingga sekian lama seakan-akan jiwanya yang pengasih itu kekal di alam kehidupan.

Tapi jika ajal itu kita tafsirkan sebagai sisa usia, maka dzahir dari hadits itu bermakna bahwa ajal akan dengan sendirinya memanjang dengan silaturahmi, dan pendapat demikian bertenangan dengan firman Allah dalam surah Al-Munaafiqqun (63) ayat 11, yang artinya:

"Dan Allah sekali-kali tidak akan menangguhkan (kematian) seseorang apabila datang waktu kematiannya."

Tentunya ini dapat disangkal dengan pernyataan bahwa ajal itu pada dasarnya sudah dapat ditentukan karena tidak tersentuh oleh sebab-sebab tertentu. Jika kita mengira bahwa usia seseorang itu dibatasi hingga enam puluh tahun saja, kalau ia bersilaturrahmi dan hanya empat puluh tahun saja bila memutuskan tali silaturahmi, maka bila ia menyambungkan tali silaturrahmi itu menginjak usia ke empat puluh tahun Allah akan menambahkan umur hingaa ia mencapai usia hingga yang ditentukan yakni enam puluh tahun. Ajal memang tidak dapat dipengaruh oleh sebab-sebab apa pun.

Tapi penafsiran yang paling baik (menurut hemat penulis) adalah pemanjangan ajal ini dengan barakah selama perjalanan usianya, dimana Allah mengaruniakannya kekuatan di dalam tubuhnya kecemerlangan berfikir dan determinasi yang kuat. Dengan demikian hidupnya penuh dengan amal perbuatan yang baik. Itulah kehidupan yang panjang meski dalam perhitungan usia hanya sebentar. Kerena memang ukuran sebenarnya untuk kehidupan yang diberkati itu bukan bulan atau tahun, tapi keagungan amal perbuatan dan banyaknya pengaruh yang ditanamkan. Berapa banyak orang yang berusia panjang, namun seakan-akan dia tidak bisa merasakan kehidupannya yang panjang tersebut. Sebaliknya, banyak juga orang yang usianya tidak terlalu panjang tapi seakan-akan ia telah hidup di tengah-tengah kita berabad-abad karena banyaknya yang telah ia perbuat dan besarnya nilai yang ia tinggalkan.

Sesungguhnya barakah dalam usia merupakan janji Allah atas orang yang menyambung tali persaudaraan. Karena seseorang jika telah menyambung tali silaturrahmi dengan saudaranya berarti telah mengagungkan dan menghormati mereka, yang itu semua menuntutnya untuk selalu memenuhi jiwanya dengan rasa senang dan merasa berdiri di atas kedudukan yang tinggi lantaran amal perbuatan yang ia kerjakan. Rasa senang itu berfungsi untuk menjadikan lebih giat, sebagaimana rasa sedih yang berakibat memasygulkan hati. Sedangkan rasa percaya diri yang besar lantaran mengerjakan amal-amal yang baik merupakan pemicu diri untuk lebih banyak lagi berbuat dan mengerahkan segenap kemampuan untuk mencapai tujuan hidup.

Allahu a'lam.
[Abu Fauzan]

(Lanjut...)


Memandang Wajah Allah

Tentunya kita pernah merasakan kerinduan terhadap orang-orang yang kita sayangi, ayah-ibu kita, saudara kita, teman2 kita, suami-istri (bagi yang sudah punya). Setelah berpisah sekian lama semakin terasalah kerinduan itu, yang kemudian kita berharap untuk segera bertemu, melepas kerinduan. Kemudian tibalah saat pertemuan itu, maka bagaimana indahnya suasana itu. Tidakkah ada sesuatu yang lebih indah selain pada suasana itu. Segenap rasa yang selama ini terpendam tertumpahkan.

Hal yang lain, tentunya kita pernah mengharapkan akan sesuatu hal. Ambil contoh ringan, ketika kita sedang kehausan dalam perjalanan, maka kita sangat mengharapkan mendapatkan air untuk melepaskan dahaga. Kemudian tatkala air tersebut kita dapatkan, bukankah girangnya perasaan kita waktu itu. Sesuatu yang tidak dapat dilukiskan.

Kalau demikian halnya, bagaimana suasana saat pertemuan kita nanti dengan Allah 'Azza wa Jalla, Dzat yang telah menciptakan kita, yang selama ini selalu kita ibadahi, yang perintahNya selalu kita jalankan, yang laranganNya selalu kita hindari. Bagaimana rasanya ketika bertemu dengan Rabb kita nanti - yang selama ini, seumur hidup kita senantiasa kita rindukan. Beberapa hadits berikut ini memberikan keterangan kepada kita.

Diriwayatkan oleh Shuhaib ra, Rasulullah saw membaca ayat: lilladziina ahsanul husnaa wa ziyaadah... kemudian beliau bersabda, "Apabila ahlul jannah sudah masuk ke dalam jannah, dan ahli neraka sudah masuk ke dalam neraka, maka malaikat yang bertugas menyeru: Wahai ahli jannah! Sesungguhnya bagi kalian di sisi Allah ada sebuah janji, Allah menghendaki akan menunaikannya.

Ahlul jannah bertanya: janji apakah itu? Bukankah Allah sudah memberatkan timbangan amal baik kami? Dan telah memutihbersihkan wajah-wajah kami? Dan telah memasukkan kami ke dalam jannah serta menyelamatkan kami dari neraka?

Kemudian Nabi saw melanjutkan sabdanya:
"Maka dibukalah hijab, maka ahlul jannah itu pun melihat wajah Allah. Dan demi Allah! Tiada satu pemberian pun pada mereka oleh Allah yang lebih mereka senangi daripada melihat pada Allah. Dan tiada (yang lebih mereka senangi) daripada Allah menatap mata mereka." (diriwayatkan oleh Ibnu Majah)

Sub-haanallah.

Keterangan dari hadits yang lain,

Dari Jabir bin Abdillah ra ia berkata, Rasulullah saw bersabda: "Ketika penghuni surga berada dalam kenikmatannya, maka bersinarlah bagi mereka sebuah cahaya, lalu mereka menengadahkan kepalanya. Maka disana Allah melihat dari atas mereka. Allah berfirman: "Keselamatan bagi kalian, wahai ahli surga." Nabi saw bersabda: itulah seperti firman Allah, ... salaamun qaulan min rabbirrahiim (... kepada mereka dikatakan: "salam" sebagai ucapan selamat dari Tuhan yang Maha Penyayang)."

Nabi saw bersabda: "maka Allah melihat mereka dan mereka pun melihat kepadaNya, mereka tidak menengok kepada sesuatu pun dari kenikmatan selama mereka melihat pada Tuhannya, sehingga Allah ditutup dari mereka, sedang cahayaNya dan berkahNya tetap atas mereka dalam kediaman mereka (surga)."(diriwayatkan oleh Ibnu Majah)

Sungguh suatu gambaran kehidupan di surga yang tidak bisa kita bayangkan saat ini. Namun Rasulullah saw memberikan gambaran sederhana, yang dapat dijangkau oleh akal dan fikiran kita di dunia ini dengan haditsnya sebagai berikut:

Jabir bin Abdillah ra berkata: Kami sedang berada di dekat Rasulullah saw, lalu beliau memandang bulan pada malam purnama dan bersabda: "Sungguh kalian akan dapat melihat Tuhan dengan mata kepala, sebagaimana kalian melihat bulan ini. Kalian tidak akan tertimpa bahaya dalam melihatNya." (diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim)

Demikian, hadits-hadits yang menceritakan indahnya suasana saat bertemu dengan Allah Rabbul 'Aalamin. Semoga semakin mempertebal kerinduan kita kepada Allah, sehingga memotifasi kita untuk semakin mendekatkan diri kepada Allah 'Azza wa Jalla.

[Abu Fauzan]

(Lanjut...)


Masjid adalah Rumahku untuk Beribadah

Allah 'Azza wa Jalla berfirman: "Hanyalah yang memakmurkan masjid-masjid Allah ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, serta tetap mendirikan salat, menunaikan zakat dan tidak takut (kepada siapapun) selain kepada Allah, maka merekalah orang-orang yang diharapkan termasuk golongan orang-orang yang mendapat petunjuk." [At-Taubah: 18]

Dalam surah yang sama di ayat yang ke 108, Firman Allah: "... Sesungguhnya masjid yang didirikan atas dasar takwa (masjid Quba), sejak hari pertama adalah lebih patut kamu bersembahyang di dalamnya. Di dalamnya ada orang-orang yang ingin membersihkan diri. Dan Allah menyukai orang-orang yang bersih." [At-Taubah: 108]

Di ayat yang pertama Allah menjanjikan akan memberikan petunjuk (hidayah) kepada orang2 yang memakmurkan masjid yang istiqamah dalam ketha'atannya kepada Allah. Dan kita telah tahu, "... man yahdillahu fa laa mudhilalah..." (barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Allah niscaya tidak akan ada yang bisa menyesatkannya. Sedang di ayat berikutnya, meskipun yang dimaksud adalah masjid Quba namun (insya Allah) kita dapat mengimplementasikan pada masjid-masjid sekarang ini: mendirikan masjid haruslah atas dasar taqwa, sehingga akan dijumpai di dalamnya orang2 yang betul2 berazzam untuk membersihkan diri.

Abu Laits meriwayatkan dengan sanadnya dari Abu Darda ra ia mendengar bahwa Salman Alfarisi ra membeli budak untuk pelayan, maka Abu Darda ra menulis surat kepada Salman yang isinya: "Hai saudaraku pergunakan masa hidupmu untuk kepentingan ibadat sebelum tiba bala yang menyebabkan tidak dapat beribadat, dan pergunakan kesempatanmu untuk mendapat berkah doa dari orang yang menderita bala, dan kasih sayanglah kamu pada anak yatim, usaplah kepalanya dan berikan makanan padanya, supaya lunak hatimu dan tercapai hajatmu. Hai saudaraku saya pernah menyaksikan ketika Rasulullah SAW didatangi seorang yang mengeluh karena merasa keras hatinya, maka sabda Nabi SAW: "Kasihanilah anak yatim, dan usaplah kepalanya, dan berikan makanan kepadanya, niscaya akan lunak hatimu dan tercapai hajatmu". Saudaraku, jadikan masjid bagaikan rumahmu sebab saya pernah mendengar Rasulullah SAW bersabda: "Masjid itu sebagai rumah orang yang bertaqwa, Dan Allah telah menjamin bagi orang-orang yang masjid itu adalah rumahnya, dengan kelapangan hati, dan kesenangan, kepuasan serta kemudahan menyeberangi shirat, dan selamat dari api neraka dan segera menuju pada keridhaan Allah SWT."

Alhakim bin Umar ra berkata, "Jadilah kamu didunia ini bagaikan tamu dan jadikan masjid bagaikan rumahmu dan ajarkan hatimu lunak, kasih sayang, banyak-banyaklah bertafakkur dan menangis dan jangan sampai kamu dikacau oleh hawa nafsu."

Masjid adalah rumah orang yang bertaqwa, lebih tegas lagi Qatadah menyatakan, "Tidak layak seorang muslim kecuali di tiga tempat: masjid yang dimakmurkan, rumah yang menutupinya, atau hajat yang dibutuhkannya."

Dalam sebuah hadits yang sangat terkenal, dari Abu Hurairah ra NAbi saw menyebutkan ada 7 golongan yang akan dinaungi Allah di hari di mana tiada naungan lagi kecuali naunganNya, salah satunya (bahkan yang disebutkan pertama) adalah orang yang hatinya senantiasa tergantung di dalam masjid - tentunya untuk beribadah. (diriwayatkan oleh imam bukhari, ahmad, muslim, tirmidzi, dan nasaa'i)

Alhasan bin Ali ra berkata, "Tiga macam orang yang dibawah lindungan Allah:
  • Seorang yang masuk masjid tidak masuk kecuali untuk Allah. Maka ia sebagai tamu Allah sehingga keluar kembali ke rumahnya.
  • Dan seorang yang ziarah kepada saudaranya sesama muslim tiada berziarah kecuali karena Allah, maka ia termasuk ziyarah kepada Allah sehingga kembali.
  • Dan seorang yang berhaji atau umrah tiada bepergian kecuali karena Allah, maka ia sebagai utusan Allah sehingga kembali pulang ke rumahnya.


  • Yang tersebut di atas adalah tentang fadhilah kita beribadah di masjid, padahal belumlah kita sampai di masjid, dalam perjalanan menuju masjid pun Allah telah menjanjikan keutamaan yang besar.

    Dari Abu Hurairah ra, bahwasanya Nabi saw bersabda: "Barangsiapa membersihkan diri di rumahnya, kemudian berjalan ke sebuah rumah diantara rumah-rumah Allah (masjid) untuk menunaikan satu fardhu, maka langkahnya yang sebelah menurunkan dosa sedang yang lain menaikkan derajat." (diriwayatkan oleh Imam Muslim)

    Dari Abu Hurairah ra, bahwasanya Nabi saw bersabda: "Barangsiapa dalam waktu pagi atau sore menuju masjid, maka ALlah menyediakan baginya hidangan di surga setiap datang waktu pagi dan sore." (diriwayatkan oleh Bukhariy dan Muslim)

    Sub-haanallah, sedemikian tingginya 'penghormatan' Allah kepada para 'tamuNya'. Sehingga para shahabat dulu memilih berjalan kaki ketika menuju ke masjid. Diceritakan oleh Ubay bin Ka'ab ra, "ada seorang lelaki dari shahabat Anshar yang saya ketahui tidak ada seorangpun yang rumahnya lebih jauh dari masjid daripada rumahnya, tetapi ia tidak pernah terlambat shalat. Pernah dikatakan kepadanya: "seandainya kamu membeli seekor keledai yang dapat kamu kendarai dalam kegelapan dan pada hari yang sangat panas." Dia menjawab: "Tidaklah menggembirakan seandainya rumahku berada di samping masjid. Sungguh aku menginginkan dituliskan jalanku menuju ke masjid da kepulanganku kembali kepada keluargaku." Maka Rasulullah saw bersabda: "Allah telah mengumpulkan untukmu semua itu (pahala berjalan berangkat dan kembali)." (diriwayatkan oleh Imam Muslim)

    Di zaman kegemilangan Islam umat Islam telah berhasil menjadikan masjid sebagai markas perlaksanaan hubungan antara manusia dengan Allah swt (ibadah) dan hubungan manusia dengan manusia (muamalah) itu berlangsung sejak abad ke 6 Masehi hingga abad ke 13 Masehi yaitu selama tujuh abad, sehingga kita masih dapat menyaksikan peninggalan sejarah kegemilangan umat Islam yang lalu itu mampu melampaui batas ruang-ruang dan waktu hingga kini. Umat Islam ketika itu benar-benar telah mengamalkan ibadah dan muamalah atau dalam kata lain fardhu ain dan fardhu kifayah sekaligus tanpa terpisah atau dipisahkan. Yaitu ibadah yang mengatur hubungan manusia dengan Allah swt dan muamalah yang mengatur hubungan manusia dengan manusia. Dengan itu mereka mampu mewujudkan keselamatan dan kesejahteraan bagi seluruh umat. (referensi untuk paragraf ini: Khubah Jum'at yang dibacakan di Masjid Negara Malaysia pada 13 Desember 1996 / 2 Sya'ban 1417)

    Demikian besarnya keutamaan beribadah di masjid, sehingga sudah seharusnya setiap fardhi muslim untuk melaziminya.
    [Abu Fauzan]

    (Lanjut...)


    Dalam Surat Al-Mujadilah ayat 22 Allah 'Azza wa Jalla berfirman, yang artinya:
    "Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara atau pun keluarga mereka. Mereka itulah orang-orang yang Allah telah menanamkan keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan pertolongan yang datang daripada-Nya. Dan dimasukkan-Nya mereka ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Allah ridha terhadap mereka dan mereka pun merasa puas terhadap (limpahan rahmat) Nya. Mereka itulah golongan Allah. Ketahuilah, bahwa sesungguhnya golongan Allah itulah golongan yang beruntung."

    Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim ra yang bersumber dari Ibnu Syaudzab dikemukakan bahwa ayat ini turun berkenaan dengan Abu 'Ubaidah bin Al-Jarrah yang membunuh bapaknya sendiri dalam perang Badar karena bapaknya berpihak pada kubu kafir Quraisy. Di dalam kitab Al-Mustadrak diceritakan secara lebih detail oleh Ath-Thabarani dan Al-Hakim bahwa dalam peperangan Badr bapak Abu 'Ubaidah menyerang dan ingin membunuhnya. Abu 'Ubaidah berusaha menghindarkan diri dengan jalan menangkis dan mengelakkan segala senjata yang ditujukan kepada dirinya. Tapi Abu 'Ubaidah akhirnya 'terpaksa' membunuh bapaknya tersebut. Maka turunlah ayat ini, yang melukiskan cinta seorang mu'min kepada Allah akan melebihi cintanya kepada orang tuanya.

    Dalam riwayat yang lain dikemukakan oleh Ibnul Mundzir dari Ibnu Juraij, ketika Abu Qufahah (ayah Abu Bakar) mencaci maki Rasulullah saw, Abu Bakar memukulnya dengan pukulan yang keras sehingga terjatuh. Kejadian ini sampai kepada Nabi saw. Beliau bertanya, "Apakah benar engkau berbuat demikian wahai Abu Bakar?" Jawab Abu Bakar, "Demi Allah, sekiranya ada pedang di dekatku, pasti aku akan memukulnya dengan pedang." Maka turunlah ayat tersebut.

    Di dalam Al-Qur'an banyak dikisahkan pisahnya orang-orang beriman dengan orang-orang kafir yang notabene masih kerabatnya, demi menjaga aqidahnya.

    1. Suami dengan istrinya/sebaliknya:

    [66.10] Allah membuat istri Nuh dan istri Luth perumpamaan bagi orang-orang kafir. Keduanya berada di bawah pengawasan dua orang hamba yang saleh di antara hamba-hamba Kami; lalu kedua istri itu berkhianat kepada kedua suaminya, maka kedua suaminya itu tiada dapat membantu mereka sedikit pun dari (siksa) Allah; dan dikatakan (kepada keduanya); "Masuklah ke neraka bersama orang-orang yang masuk (neraka)".

    [66.11] Dan Allah membuat istri Firaun perumpamaan bagi orang-orang yang beriman, ketika ia berkata: "Ya Tuhanku, bangunlah untukku sebuah rumah di sisi-Mu dalam surga dan selamatkanlah aku dari Firaun dan perbuatannya dan selamatkanlah aku dari kaum yang lalim",
    [At-Tahriim: 10-11]

    Asiah adalah istri penguasa Mesir bahkan penguasa seluruh kawasan tersebut, karena wilayah selatan Palestina dan sebagian daripadanya dahulu berada di bawah kekuasaan Mesir dan Raja Fir'aun dalam satu kurun waktu khususnya pada masa pemerintahan Ramses II, ayah dari Minbatah, Fir'aun yang mati ditenggelamkan Allah di Laut Merah karena memusuhi risalah yang dibawa Nabi Musa. Ramses adalah Fir'aun yang mengasuh Musa, memberi makan minum dan tempat di dalam istana. Meskipun demikian, kendati gagah perawakannya dan luas kekuasaannya Asiah tidak mau hidup bersamanya, tercermin dari do'anya: "Wahai Rabb-ku! Bangunkanlah untukku sebuah rumah disisiMu dalam jannah dan selamatkanlah aku dari Fir'aun dan tindakannya, dan selamatkan aku dari qaum yang zhalim."

    2. Anak dengan bapaknya/sebaliknya:

    Kasus Nabi Ibrahim dan ayahnya, Azhar:

    [60.4] Sesungguhnya telah ada suri teladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia; ketika mereka berkata kepada kaum mereka: "Sesungguhnya kami berlepas diri dari kamu dan dari apa yang kamu sembah selain Allah, kami ingkari (kekafiran) mu dan telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja. Kecuali perkataan Ibrahim kepada bapaknya: "Sesungguhnya aku akan memohonkan ampunan bagi kamu dan aku tiada dapat menolak sesuatu pun dari kamu (siksaan) Allah". (Ibrahim berkata): "Ya Tuhan kami, hanya kepada Engkaulah kami bertawakal dan hanya kepada Engkaulah kami bertobat dan hanya kepada Engkaulah kami kembali,
    [Al-Mumtahanah: 4]

    [9.113] Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum kerabat (nya), sesudah jelas bagi mereka, bahwasanya orang-orang musyrik itu, adalah penghuni neraka Jahanam.

    [9.114] Dan permintaan ampun dari Ibrahim (kepada Allah) untuk bapaknya, tidak lain hanyalah karena suatu janji yang telah diikrarkannya kepada bapaknya itu. Maka tatkala jelas bagi Ibrahim bahwa bapaknya itu adalah musuh Allah, maka Ibrahim berlepas diri daripadanya. Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang yang sangat lembut hatinya lagi penyantun.
    [At-Taubah: 113-114]

    Kasus Nabi Nuh dan anaknya, Kan'an:

    [11.45] Dan Nuh berseru kepada Tuhannya sambil berkata: "Ya Tuhanku, sesungguhnya anakku, termasuk keluargaku, dan sesungguhnya janji Engkau itulah yang benar. Dan Engkau adalah Hakim yang seadil-adilnya."

    [11.46] Allah berfirman: "Hai Nuh, sesungguhnya dia bukanlah termasuk keluargamu (yang dijanjikan akan diselamatkan), sesungguhnya (perbuatannya) perbuatan yang tidak baik. Sebab itu janganlah kamu memohon kepada-Ku sesuatu yang kamu tidak mengetahui (hakikat) nya. Sesungguhnya Aku memperingatkan kepadamu supaya kamu jangan termasuk orang-orang yang tidak berpengetahuan."

    [11.47] Nuh berkata: "Ya Tuhanku, sesungguhnya aku berlindung kepada Engkau dari memohon kepada Engkau sesuatu yang aku tiada mengetahui (hakikat) nya. Dan sekiranya Engkau tidak memberi ampun kepadaku, dan (tidak) menaruh belas kasihan kepadaku, niscaya aku akan termasuk orang-orang yang merugi."
    [Huud: 45-47]

    Nabi Nuh memohonkan ampun untuk putranya, Kan'an yang tidak mau menerima syari'at Allah. Lalu Allah dengan tegas menyatakan bahwa tidak ada tali kekerabatan lagi antara dia dan putranya karena anaknya menjalankan amalan yang bathil. Maka terputuslah pertalian darah di antara keduanya.

    Demikianlah, sesungguhnya ikatan kekerabatan itu hanyalah karena kesamaan aqidah. Orang Islam hanya diperbolehkan ber-wala' (loyal) dengan sesama orang Islam. Sebaliknya, ditegaskan untuk barra' (anti loyal) dengan orang-orang ghairu islam yang memusuhi Al-Islam.

    Perhatikanlah ayat-ayat di atas, kalau dengan orang-orang terdekat saja harus pisah lantaran mempertahankan aqidah, kenapa sekarang kita merangkul orang-orang/bangsa yang memusuhi Al-Islam. Dengan alasan 'teknis' kita banyak berkasih-kasihan dengannya, dan sebaliknya kita telantarkan saudara-saudara kita seaqidah. Enggan rasanya untuk bahu-membahu membangun kekuatan sendiri, karena merasa telah tertinggal jauh dan mustahil untuk mengejarnya. Laa haula walaa quwwata illa billah. Mestinya kita yaqin, inna nashrullahu qariib - sesungguhnya pertolongan Allah itu dekat, dan pasti akan datang kepada orang-orang yang benar-benar berjuang menegakkan Al-Islam.

    Satu lagi, terkait dengan wala' dan barra' mengenai persangkaan (zhan) kita. Sudah selayaknya kita selalu berprasangka baik (husnuzhan) kepada saudara kita, kita anggap bahwa semua yang dilakukan saudara kita adalah yang terbaik menurutnya dan kita coba luruskan jika kita ketahui menyimpang. Kita jaga prasangka baik tersebut sampai benar-benar terbukti bahwa ternyata saudara kita mempunyai maksud yang tidak baik. Sebaliknya, kita harus selalu curiga (baca: awas) dengan tindakan-tindakan ghairu Islam sampai benar-benar terbukti/yaqin bahwa itu tidak membahayakan kelangsungan aqidah kita, juga penerus kita.

    Allahu a'lam.

    [Abu Fauzan]

    (Lanjut...)


    Barangsiapa yang senang berjumpa dengan Allah, maka Allah senang menjumpainya dan sebaliknya.

    Diriwayatkan oleh Al-Bukhariy, dari Abu Hurairah bahwasanya Nabi saw bersabda: Allah 'Azza wa Jalla telah berfirman: "Apabila hambaKu senang menjumpaiKu maka Aku senang menjumpainya, dan jika hambaKu tidak senang menjumpaiKu, maka Aku benci menjumpainya."

    Dari Anas ra dari 'Ubadah bin Samit ra Nabi saw bersabda: "Barangsiapa yang suka berjumpa dengan Allah maka Allah pun suka menjumpainya, dan barangsiapa yang benci menjumpai Allah maka Allah pun benci menjumpainya.

    Bertanya Aisyah ra: "Bahwasanya kita benci kematian?".

    Jawab Nabi saw: "Bukan begitu. Akan tetapi, orang mu'min apabila kematian datang padanya, maka ia tampakkan tentang keridhaan Allah dan kemulianNya, maka tiada yang menyukainya daripada apa yang ada di depannya, maka iapun senang berjumpa dengan Allah, dan Allah senang pula menjumpainya.

    Dan sesungguhnya orang kafir apabila datang kematiannya, maka ia per lihatkan siksa Allah dan akibat-akibat dosanya. Dan tiada sesuatu yang lebih dibenci daripada apa yang ada di depannya itu, dia benci berjumpa dengan Allah, dan Allah pun benci menjumpainya."

    Ketika Syuraih mendengar hadits dari Abu Hurairah tersebut, kemudian mendatangi 'Aisyah ra: "Wahai Ummul Mu'minin! Saya mendengar Abu Hurairah menyampaikan sebuah hadits Rasulullah saw. Jika memang benar demikian sungguh celakalah kita."

    Maka 'Aisyah berkata: "Bahwa orang yang celaka adalah orang yang celaka sebab sabda Rasulullah saw. Apa yang beliau sabdakan?"

    Jawab Syuraih: "Nabi saw bersabda, barangsiapa yang senang menjumpai Allah maka Allah senang menjumpainya, dan barangsiapa yang benci menjumpai Allah maka Allah benci menjumpainya. Dan tidak ada dari kami yang membenci kematian."

    Maka 'Aisyah berkata: "Sungguh Rasulullah saw telah bersabda, dan (kebencian itu) bukan sebab engkau benci kepadaNya. Tetapi bila pandangan sudah melirik ke atas, dan dada sudah megap-megap, dan bulu roma sudah berdiri, dan jari-jemari sudah menggenggam rapat, maka dalam keadaan demikian itulah barangsiapa yang senang menjumpai Allah, maka Allah senang menjumpainya. Dan barangsiapa yang benci menjumpai Allah, maka Allah benci menjumpainya.

    Diriwayatkan Muhammad bin Rafi' dari Abu Hurairah, Rasulullah saw bersabda: "Malaikat maut datang kepada Nabi Musa as, kemudian berkata pada Nabi Musa,

    "Perkenankan panggilan Rabb-mu!"

    Nabi saw berkata: "Maka Musa menampar mata malaikat maut itu dan mencabutnya. Maka malaikat itu pulang kepada Allah Ta'aala dan berkata:

    "Engkau mengutusku pada hamba yang tidak mau mati. Dan sungguh telah dicopot mataku."

    Nabi saw bersabda: "Maka Allah mengembalikan mata malaikat itu dan berfirman:

    "Kembalilah pada hambaKu dan katakan kehidupan apa yang engkau kehendaki? Maka Apabila engkau menghendaki hidup, maka letakkan tanganmu pada punggung sapi jantan, maka apa yang tersembunyi di balik tanganmu dari dari satu bulu rambut kamu hidup selama satu tahun."

    Nabi Musa berkata: "Kemudian Bagaimana?"

    Allah berfirman: "Kamu mati."

    Musa berkata: "Maka sekarang, sudah dekat wahai Rabb-ku, dekatkan aku dari tanah yang suci (Baitul Maqdis) sepelemparan batu."

    Rasulullah bersabda: "Demi Allah, bila aku berada di sana, sungguh aku tunjukkan pada kalian kubur Nabi Musa, di pinggir jalan pada bukit pasir yang merah."

    Allahu a'lam.

    [Abu Fauzan]

    (Lanjut...)


    Pernahkah kita berfikir bahwa sebenarnya Allah mencintai kita? Pertanyaan sederhana ini jarang terlintas dalam hati kita. Rutinitas kerja sehari-hari yang selalu padat dengan berbagai acara, sering melupakan kita untuk berfikir kesana. Hidup yang kita jalani dengan kesibukan rutin dari itu ke itu dan selalu susul menyusul setiap hari seakan memberikan pada kita pola hidup yang sudah berlalu begitu saja.

    Bahwasanya ada sebentuk karunia yang dihamparkan Allah kepada seluruh makhluknya tanpa membedakan kedudukan keimanannya. Inilah sifat Ar-Rahmaan Allah. Dengan sifat Rahman seluruh makhluk mendapatkan karunia. Termasuk kepada manusia, apakah mereka itu mau beriman dan tha'at (taat) kepada aturan Allah (al-Islam), atau mereka yang kafir dan berpaling dari al-Islam, semua diberi karunia oleh Allah dengan rizqi, harta-benda, anak, kesehatan, dan lain-lain. Bahkan tidak menutup kemungkinan orang kafir akan mendapatkan dunianya lebih banyak daripada orang yang beriman. Ini berjalan sesuai dengan sunnatullah, tergantung usaha masing-masing.

    Selanjutnya ada bentuk cinta lain yang khusus diberikan kepada hamba yang beriman saja yaitu sifat Ar-Rahiim. Dengan sifat Rahiim-Nya, hanya orang yang beriman dan taat sajalah yang dicintai Allah dan di akhirah kelak diberi jannah. Sedang orang yang tidak mau Islam, mereka tergolong orang-orang kafir atau musyrik yang akan tinggal di naar (neraka) dalam keadaan hina.

    Dengan demikian kita tidak perlu khawatir kekurangan rizqi. Selagi kita mau berusaha yakinlah bahwa Allah akan memberikan karunianya. Allah yang memberi hidup, Dia jugalah yang memberi kemampuan untuk melangsungkan kehidupannya. Binatang saja dijamin rizqinya, apalagi manusia yang notabene diberi akal dan pikiran. Perhatikan firman Allah dalam surah Hud ayat 6, yang artinya:

    "Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezekinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam kitab yang nyata (Lohmahfuz)."

    Yang harus kita khawatir kalau al-Islam sampai terlepas dari kita. Berarti kita tidak mendapatkan RahimNya, tidak termasuk orang yang dicintai Allah. Na'udzubillahi min dzalik. Perhatikan hadits berikut:

    Dari Abdullah bin Mas'ud berkata, bersabda Rasulullah saw (artinya): "Sesungguhnya Allah membagi diantara kalian akan akhlaq kalian sebagaimana membagi diantara kalian akan rizqi kalian. Maka sesungguhnya Allah Yang Maha Gagah dan Maha Tinggi memberikan dunia kepada orang yang Dia cintai dan tidak Dia cintai, akan tetapi Dia tidak memberikan agama ini (al-Islam), kecuali kepada orang yang Dia cintai. Maka barangsiapa yang Allah berikan padanya agama maka sungguh Allah mencintainya."
    (diriwayatkan Imam Ahmad, juz 1 no. 3490)

    Allah tunjukkan kecintaannya kepada kita dengan:
    - diimankannya hati kita kepada Allah dan Rasul-Nya
    - diyakinkannya kita pada kebenaran Al Qur'an
    - dimaukannya kita memilih Al Islam sebagai diin (way of life).

    Jelas bagi kita bahwa orang yang dicintai Allah bukankah dia yang diberi harta kekayaan, anak cucu yang banyak, jabatan yang tinggi, akan tetapi yang diberikan kefahaman kepada al-Islam, dan tentunya diberikan kemauan serta kemampuan untuk menjalankannya.

    Oleh karenanya, mari kita kokohkan kembali ikrar kita: "Rodhitu billahi robba wa bil Islaami diina wa bi Muhammadin Nabiyyau wa rasuula." (Aku ridha Allah Rabb-ku dan Islam jalan hidupku dan Muhammad Nabi dan RasulNya)

    Bersama ikrar ini, mari kita langkahkan kaki di atas rel syari'atNya dengan ikhlas, shabar dan mengharap keridhaan Allah untuk mengantar kita pada akhir cita mulia yaitu: Jannatun na'iim.

    Insya Allah.

    [Abu Fauzan]

    (Lanjut...)
    Subscribe to: Posts (Atom)