Dalam Surat Al-Mujadilah ayat 22 Allah 'Azza wa Jalla berfirman, yang artinya:
"Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara atau pun keluarga mereka. Mereka itulah orang-orang yang Allah telah menanamkan keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan pertolongan yang datang daripada-Nya. Dan dimasukkan-Nya mereka ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Allah ridha terhadap mereka dan mereka pun merasa puas terhadap (limpahan rahmat) Nya. Mereka itulah golongan Allah. Ketahuilah, bahwa sesungguhnya golongan Allah itulah golongan yang beruntung."
Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim ra yang bersumber dari Ibnu Syaudzab dikemukakan bahwa ayat ini turun berkenaan dengan Abu 'Ubaidah bin Al-Jarrah yang membunuh bapaknya sendiri dalam perang Badar karena bapaknya berpihak pada kubu kafir Quraisy. Di dalam kitab Al-Mustadrak diceritakan secara lebih detail oleh Ath-Thabarani dan Al-Hakim bahwa dalam peperangan Badr bapak Abu 'Ubaidah menyerang dan ingin membunuhnya. Abu 'Ubaidah berusaha menghindarkan diri dengan jalan menangkis dan mengelakkan segala senjata yang ditujukan kepada dirinya. Tapi Abu 'Ubaidah akhirnya 'terpaksa' membunuh bapaknya tersebut. Maka turunlah ayat ini, yang melukiskan cinta seorang mu'min kepada Allah akan melebihi cintanya kepada orang tuanya.
Dalam riwayat yang lain dikemukakan oleh Ibnul Mundzir dari Ibnu Juraij, ketika Abu Qufahah (ayah Abu Bakar) mencaci maki Rasulullah saw, Abu Bakar memukulnya dengan pukulan yang keras sehingga terjatuh. Kejadian ini sampai kepada Nabi saw. Beliau bertanya, "Apakah benar engkau berbuat demikian wahai Abu Bakar?" Jawab Abu Bakar, "Demi Allah, sekiranya ada pedang di dekatku, pasti aku akan memukulnya dengan pedang." Maka turunlah ayat tersebut.
Di dalam Al-Qur'an banyak dikisahkan pisahnya orang-orang beriman dengan orang-orang kafir yang notabene masih kerabatnya, demi menjaga aqidahnya.
1. Suami dengan istrinya/sebaliknya:
[66.10] Allah membuat istri Nuh dan istri Luth perumpamaan bagi orang-orang kafir. Keduanya berada di bawah pengawasan dua orang hamba yang saleh di antara hamba-hamba Kami; lalu kedua istri itu berkhianat kepada kedua suaminya, maka kedua suaminya itu tiada dapat membantu mereka sedikit pun dari (siksa) Allah; dan dikatakan (kepada keduanya); "Masuklah ke neraka bersama orang-orang yang masuk (neraka)".
[66.11] Dan Allah membuat istri Firaun perumpamaan bagi orang-orang yang beriman, ketika ia berkata: "Ya Tuhanku, bangunlah untukku sebuah rumah di sisi-Mu dalam surga dan selamatkanlah aku dari Firaun dan perbuatannya dan selamatkanlah aku dari kaum yang lalim",
[At-Tahriim: 10-11]
Asiah adalah istri penguasa Mesir bahkan penguasa seluruh kawasan tersebut, karena wilayah selatan Palestina dan sebagian daripadanya dahulu berada di bawah kekuasaan Mesir dan Raja Fir'aun dalam satu kurun waktu khususnya pada masa pemerintahan Ramses II, ayah dari Minbatah, Fir'aun yang mati ditenggelamkan Allah di Laut Merah karena memusuhi risalah yang dibawa Nabi Musa. Ramses adalah Fir'aun yang mengasuh Musa, memberi makan minum dan tempat di dalam istana. Meskipun demikian, kendati gagah perawakannya dan luas kekuasaannya Asiah tidak mau hidup bersamanya, tercermin dari do'anya: "Wahai Rabb-ku! Bangunkanlah untukku sebuah rumah disisiMu dalam jannah dan selamatkanlah aku dari Fir'aun dan tindakannya, dan selamatkan aku dari qaum yang zhalim."
2. Anak dengan bapaknya/sebaliknya:
Kasus Nabi Ibrahim dan ayahnya, Azhar:
[60.4] Sesungguhnya telah ada suri teladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia; ketika mereka berkata kepada kaum mereka: "Sesungguhnya kami berlepas diri dari kamu dan dari apa yang kamu sembah selain Allah, kami ingkari (kekafiran) mu dan telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja. Kecuali perkataan Ibrahim kepada bapaknya: "Sesungguhnya aku akan memohonkan ampunan bagi kamu dan aku tiada dapat menolak sesuatu pun dari kamu (siksaan) Allah". (Ibrahim berkata): "Ya Tuhan kami, hanya kepada Engkaulah kami bertawakal dan hanya kepada Engkaulah kami bertobat dan hanya kepada Engkaulah kami kembali,
[Al-Mumtahanah: 4]
[9.113] Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum kerabat (nya), sesudah jelas bagi mereka, bahwasanya orang-orang musyrik itu, adalah penghuni neraka Jahanam.
[9.114] Dan permintaan ampun dari Ibrahim (kepada Allah) untuk bapaknya, tidak lain hanyalah karena suatu janji yang telah diikrarkannya kepada bapaknya itu. Maka tatkala jelas bagi Ibrahim bahwa bapaknya itu adalah musuh Allah, maka Ibrahim berlepas diri daripadanya. Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang yang sangat lembut hatinya lagi penyantun.
[At-Taubah: 113-114]
Kasus Nabi Nuh dan anaknya, Kan'an:
[11.45] Dan Nuh berseru kepada Tuhannya sambil berkata: "Ya Tuhanku, sesungguhnya anakku, termasuk keluargaku, dan sesungguhnya janji Engkau itulah yang benar. Dan Engkau adalah Hakim yang seadil-adilnya."
[11.46] Allah berfirman: "Hai Nuh, sesungguhnya dia bukanlah termasuk keluargamu (yang dijanjikan akan diselamatkan), sesungguhnya (perbuatannya) perbuatan yang tidak baik. Sebab itu janganlah kamu memohon kepada-Ku sesuatu yang kamu tidak mengetahui (hakikat) nya. Sesungguhnya Aku memperingatkan kepadamu supaya kamu jangan termasuk orang-orang yang tidak berpengetahuan."
[11.47] Nuh berkata: "Ya Tuhanku, sesungguhnya aku berlindung kepada Engkau dari memohon kepada Engkau sesuatu yang aku tiada mengetahui (hakikat) nya. Dan sekiranya Engkau tidak memberi ampun kepadaku, dan (tidak) menaruh belas kasihan kepadaku, niscaya aku akan termasuk orang-orang yang merugi."
[Huud: 45-47]
Nabi Nuh memohonkan ampun untuk putranya, Kan'an yang tidak mau menerima syari'at Allah. Lalu Allah dengan tegas menyatakan bahwa tidak ada tali kekerabatan lagi antara dia dan putranya karena anaknya menjalankan amalan yang bathil. Maka terputuslah pertalian darah di antara keduanya.
Demikianlah, sesungguhnya ikatan kekerabatan itu hanyalah karena kesamaan aqidah. Orang Islam hanya diperbolehkan ber-wala' (loyal) dengan sesama orang Islam. Sebaliknya, ditegaskan untuk barra' (anti loyal) dengan orang-orang ghairu islam yang memusuhi Al-Islam.
Perhatikanlah ayat-ayat di atas, kalau dengan orang-orang terdekat saja harus pisah lantaran mempertahankan aqidah, kenapa sekarang kita merangkul orang-orang/bangsa yang memusuhi Al-Islam. Dengan alasan 'teknis' kita banyak berkasih-kasihan dengannya, dan sebaliknya kita telantarkan saudara-saudara kita seaqidah. Enggan rasanya untuk bahu-membahu membangun kekuatan sendiri, karena merasa telah tertinggal jauh dan mustahil untuk mengejarnya. Laa haula walaa quwwata illa billah. Mestinya kita yaqin, inna nashrullahu qariib - sesungguhnya pertolongan Allah itu dekat, dan pasti akan datang kepada orang-orang yang benar-benar berjuang menegakkan Al-Islam.
Satu lagi, terkait dengan wala' dan barra' mengenai persangkaan (zhan) kita. Sudah selayaknya kita selalu berprasangka baik (husnuzhan) kepada saudara kita, kita anggap bahwa semua yang dilakukan saudara kita adalah yang terbaik menurutnya dan kita coba luruskan jika kita ketahui menyimpang. Kita jaga prasangka baik tersebut sampai benar-benar terbukti bahwa ternyata saudara kita mempunyai maksud yang tidak baik. Sebaliknya, kita harus selalu curiga (baca: awas) dengan tindakan-tindakan ghairu Islam sampai benar-benar terbukti/yaqin bahwa itu tidak membahayakan kelangsungan aqidah kita, juga penerus kita.
Allahu a'lam.
[Abu Fauzan]
Post a Comment
Assalaamu'alaikum. Terimakasih atas komentar yang anda sampaikan. Semoga bermanfaat.